LANGGAMPOS.COM - Di kalangan ahlus sunnah waljamaah, yang berpegang pada Al-Qur'an dan Sunnah Nabi serta jalan yang ditempuh oleh salafus shalih, diyakini bahwa keimanan seorang hamba bersifat dinamis, selalu mengalami perubahan, baik naik maupun turun.
Selain itu, karakteristik iman juga memiliki berbagai tingkatan yang harus dipahami dengan baik. Hal ini sudah sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam yang menyampaikan bahwa keimanan bukanlah sesuatu yang statis.
Pemahaman ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, yang menyatakan bahwa iman terdiri dari lebih dari enam puluh cabang, dan cabang tertinggi adalah ucapan "La ilaha illallah" (tidak ada Tuhan selain Allah). Sebaliknya, cabang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Selain itu, rasa malu (al-haya') juga termasuk cabang iman. Hadis ini diriwayatkan dalam Shahih Muslim (no. 35) yang berbunyi:
"Iman memiliki beberapa cabang (tingkatan) sejumlah tujuh puluh sekian atau enam puluh sekian cabang. Yang paling utama adalah ucapan ‘Lailahaillallah’ (tidak ada Tuhan yang berhak disembah dengan benar selain Allah), sedangkan yang paling rendahnya adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Selain itu, rasa malu (al-haya’) merupakan salah satu cabang iman."
Menurut hadits di atas, memang benar bahwa keimanan memiliki berbagai dimensi dan level atau tingkatan yang saling berkaitan. Adapun level atau dimensi keimanan adalah hati, lisan, dan hati yang terucap oleh lisan.
Dimensi lisan dan hati tersebut muncul dalam ucapan “Tidak ada Tuhan selain Allah” yang menunjukkan keimanan mendalam bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Ucapan tersebut menjadi bagian penting dalam keimanan karena merupakan bagian dari fitrah manusia dan pengakuan Allah sebagai satu-satunya tuhan. Allah berfirman dalam QS. Al-Anbiya: 25:
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah dengan hak) selain Aku, maka sembahlah Aku!’” (QS. Al-Anbiya: 25)
Ucapan ini juga tercatat dalam hadis dari Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu 'anhu yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Muwatta (no. 726):
"Hal paling agung yang pernah aku dan para nabi terdahulu ucapkan adalah, ‘La ilaha illallah’."
Di sisi lain, menyingkirkan gangguan dari jalan, meskipun tampak sederhana, juga merupakan tindakan yang sangat dihargai dalam ajaran Islam dan dianggap bagian dari iman. Hal ini tercatat dalam hadis riwayat Bukhari (no. 2472) dan Muslim (no. 1914), yang menyatakan:
"Suatu ketika seorang lelaki sedang berjalan dan menemukan sebatang ranting berduri. Ia lalu mengambilnya, dan Allah pun menyambut perbuatannya dengan syukur dan mengampuni segala dosanya."
Rasa malu (al-haya’) juga menjadi cabang penting dari keimanan, berada di antara kalimat tauhid dan menyingkirkan gangguan dari jalan.
Malu yang terkandung dalam hati berfungsi untuk menghalangi seseorang melakukan perbuatan tercela dan mendorongnya untuk berbuat kebaikan. Ketika rasa malu hilang, moralitas seseorang bisa runtuh.
sebagaimana yang digambarkan dalam hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Uqbah bin Amr radhiyallahu 'anhu:
"Sesungguhnya salah satu warisan ucapan kenabian terdahulu yang masih dijumpai manusia adalah 'Jika engkau tidak memiliki rasa malu, maka silakan lakukan apa saja yang engkau mau.'" (HR. Abu Dawud)
Secara keseluruhan, pemahaman tentang hierarki keimanan ini menunjukkan bahwa iman itu bersifat kompleks dan terdiri dari berbagai dimensi yang saling mendukung.
Keimanan seseorang bisa bertambah dan berkurang, tergantung pada usaha untuk menjaga hati, pikiran, dan amal. Oleh karena itu, penting bagi setiap Muslim untuk menjaga dan memperkuat imannya dengan selalu berusaha mendekatkan diri kepada Allah dalam segala aspek kehidupan.
(*)