- Kanibalisme anak pada hewan atau filial cannibalism merupakan strategi reproduksi yang umum pada banyak spesies
- Perilaku ini dapat meningkatkan peluang kelangsungan hidup induk serta sisa keturunannya
- Faktor lingkungan, stres, ketersediaan makanan, dan konflik genetik turut memengaruhi keputusan ekstrem tersebut
LANGGAMPOS.COM - Kanibalisme anak pada hewan kerap memicu rasa ngeri sekaligus kebingungan, sebab bertolak belakang dari naluri merawat keturunan. Namun dalam kajian sains perilaku hewan, praktik yang dikenal sebagai filial cannibalism atau brood cannibalism justru dipahami sebagai bagian dari strategi evolusi. Fenomena ini tercatat luas pada ikan, serangga, mamalia kecil, hingga hewan peliharaan, dan bukan sekadar penyimpangan perilaku, melainkan respons biologis terhadap tekanan lingkungan dan peluang reproduksi.
Ahli ekologi perilaku dari Swedish University of Agricultural Sciences, Aneesh Bose, menyebut kanibalisme anak sebagai “alat” yang tersedia dalam repertoar strategi hidup banyak spesies. Dalam tinjauan ilmiah yang ia tulis pada 2022, Bose menegaskan bahwa perilaku memakan keturunan telah “tertanam” dalam sistem reproduksi berbagai hewan. Artinya, keputusan tersebut bukan impuls sesaat, melainkan hasil seleksi alam yang panjang.
Dari lebih dari 1.500 spesies kanibal yang telah diidentifikasi, banyak di antaranya diketahui memangsa anaknya sendiri. Yang mengejutkan, perilaku ini sering berjalan berdampingan bersama pola pengasuhan. Ikan gobi pasir, kumbang rusa, hingga mamalia domestik tercatat merawat anaknya, namun dalam kondisi tertentu juga memakannya. Secara logika manusia, tindakan ini tampak kontraproduktif, tetapi sains menunjukkan alasan yang jauh lebih kompleks.
Setiap spesies memiliki strategi reproduksi berbeda. Hewan berumur panjang dan bereproduksi lambat seperti gajah atau paus hampir tidak pernah melakukan kanibalisme anak. Mereka biasanya hanya memiliki satu keturunan dalam waktu lama sehingga seluruh energi difokuskan pada perawatan individu tersebut. Sebaliknya, spesies yang bereproduksi cepat dan menghasilkan banyak anak dalam satu siklus justru lebih rentan melakukan kanibalisme parsial.
Pada serangga, laba-laba, dan ikan, satu induk bisa memiliki ratusan hingga ribuan anak. Dalam situasi makanan terbatas, memakan sebagian anak justru membantu memastikan sisa keturunan memperoleh nutrisi cukup. Studi klasik pada kumbang bangkai menunjukkan bahwa ketika sumber makanan langka, induk akan memangsa beberapa larva agar larva lain tumbuh lebih sehat.
Pada serangga, laba-laba, dan ikan, satu induk bisa memiliki ratusan hingga ribuan anak. Dalam situasi makanan terbatas, memakan sebagian anak justru membantu memastikan sisa keturunan memperoleh nutrisi cukup. Studi klasik pada kumbang bangkai menunjukkan bahwa ketika sumber makanan langka, induk akan memangsa beberapa larva agar larva lain tumbuh lebih sehat.
Kanibalisme parsial juga ditemukan pada mamalia seperti kucing, anjing, dan babi. Biasanya, anak yang sakit, lahir mati, atau berpeluang hidup rendah menjadi sasaran. Bagi induk betina, tindakan ini memungkinkan pemulihan energi setelah proses melahirkan yang menguras fisik. Peneliti juga menemukan alasan lain seperti pengurangan kepadatan populasi, penyeimbangan rasio jenis kelamin, hingga pengaruh infeksi parasit.
Pada beberapa ikan, kanibalisme anak berkaitan erat dengan konflik genetik. Induk jantan mampu mengenali apakah telur atau larva berasal dari gennya sendiri melalui sinyal kimia. Jika terdeteksi adanya keturunan jantan lain, sebagian ayah akan memakan lebih banyak anak. Hal ini memicu konflik terbuka, karena induk betina tetap memiliki hubungan genetik terhadap seluruh keturunan dan berusaha melindunginya. Pada spesies ikan yang mengasuh bersama, betina sering menjaga telur secara ketat sementara jantan berpatroli, sebuah pembagian peran yang juga berfungsi mencegah kanibalisme berlebihan.
Berbeda dari kanibalisme parsial, kanibalisme total berarti induk memakan seluruh anaknya. Strategi ini umumnya muncul ketika ukuran keturunan terlalu kecil dan dianggap tidak sepadan untuk dipertahankan. Dengan mengorbankan satu siklus reproduksi, induk memiliki kesempatan untuk segera memulai siklus baru yang lebih menguntungkan. Perilaku ini tercatat pada hewan pengerat dan kelinci, terutama saat induk mengalami stres tinggi akibat ancaman lingkungan.
Meski telah banyak diteliti, sebagian besar riset tentang kanibalisme anak masih berfokus pada ikan dan hewan pengerat. Bose menilai keragaman pola hidup ikan menjadikannya model ideal, namun ia juga menekankan perlunya studi lebih luas pada kelompok hewan lain. Selain itu, perbedaan antara pengamatan di alam liar dan eksperimen laboratorium masih menyisakan pertanyaan tentang sejauh mana kondisi buatan memengaruhi perilaku tersebut.
Para ilmuwan kini sepakat bahwa kanibalisme anak pada hewan jauh lebih kompleks dan meluas dari dugaan awal. Beragam faktor biologis, ekologis, dan sosial saling berkelindan membentuk keputusan ekstrem ini. Seiring berkembangnya riset perilaku hewan, kemungkinan besar sains akan menemukan alasan-alasan baru yang semakin memperkaya pemahaman tentang sisi gelap namun adaptif dari dunia hewan.
(*)
Pada beberapa ikan, kanibalisme anak berkaitan erat dengan konflik genetik. Induk jantan mampu mengenali apakah telur atau larva berasal dari gennya sendiri melalui sinyal kimia. Jika terdeteksi adanya keturunan jantan lain, sebagian ayah akan memakan lebih banyak anak. Hal ini memicu konflik terbuka, karena induk betina tetap memiliki hubungan genetik terhadap seluruh keturunan dan berusaha melindunginya. Pada spesies ikan yang mengasuh bersama, betina sering menjaga telur secara ketat sementara jantan berpatroli, sebuah pembagian peran yang juga berfungsi mencegah kanibalisme berlebihan.
Berbeda dari kanibalisme parsial, kanibalisme total berarti induk memakan seluruh anaknya. Strategi ini umumnya muncul ketika ukuran keturunan terlalu kecil dan dianggap tidak sepadan untuk dipertahankan. Dengan mengorbankan satu siklus reproduksi, induk memiliki kesempatan untuk segera memulai siklus baru yang lebih menguntungkan. Perilaku ini tercatat pada hewan pengerat dan kelinci, terutama saat induk mengalami stres tinggi akibat ancaman lingkungan.
Meski telah banyak diteliti, sebagian besar riset tentang kanibalisme anak masih berfokus pada ikan dan hewan pengerat. Bose menilai keragaman pola hidup ikan menjadikannya model ideal, namun ia juga menekankan perlunya studi lebih luas pada kelompok hewan lain. Selain itu, perbedaan antara pengamatan di alam liar dan eksperimen laboratorium masih menyisakan pertanyaan tentang sejauh mana kondisi buatan memengaruhi perilaku tersebut.
Para ilmuwan kini sepakat bahwa kanibalisme anak pada hewan jauh lebih kompleks dan meluas dari dugaan awal. Beragam faktor biologis, ekologis, dan sosial saling berkelindan membentuk keputusan ekstrem ini. Seiring berkembangnya riset perilaku hewan, kemungkinan besar sains akan menemukan alasan-alasan baru yang semakin memperkaya pemahaman tentang sisi gelap namun adaptif dari dunia hewan.
(*)
Source: Popular Science

