- Saham-saham third liner mendominasi daftar penguatan tertinggi Bursa Efek Indonesia sepanjang 2025
- Lonjakan harga tidak selalu sejalan kinerja keuangan dan fundamental emiten
- Sentimen aksi korporasi dan spekulasi ritel menjadi pendorong utama reli saham
LANGGAMPOS.COM - Parade saham paling moncer di Bursa Efek Indonesia sepanjang 2025 menjadi sorotan pelaku pasar setelah sejumlah emiten mencatatkan lonjakan harga ekstrem hingga ribuan persen. Fenomena ini menempatkan saham berkapitalisasi kecil atau third liner sebagai “raja bursa” tahun ini, meski di balik kenaikan tersebut tersimpan tanda tanya besar terkait kekuatan fundamental perusahaan.
Sepanjang tahun berjalan, saham PT Agro Bahari Nusantara Tbk (UDNG) muncul sebagai juara penguatan harga saham. Emiten budidaya udang vaname ini melesat lebih dari 8.500 persen secara year to date, menjadikannya saham dengan kenaikan tertinggi di BEI pada 2025. Kenaikan ini dipicu oleh berbagai sentimen pasar, mulai dari ekspektasi ekspansi usaha hingga perburuan saham spekulatif oleh investor ritel.
Namun jika ditelisik lebih dalam, lonjakan harga saham UDNG tidak sejalan kinerja keuangan perseroan. Hingga akhir 2024, penjualan UDNG justru turun tajam menjadi Rp3,13 miliar dari Rp8,34 miliar pada tahun sebelumnya. Perseroan juga membukukan rugi bersih Rp3,67 miliar, berbalik dari laba Rp166 juta pada 2023. Kondisi tersebut membuat rasio price to earnings berada di zona negatif, sementara laba per saham tercatat minus Rp2,10.
Dalam laporan keuangan interim per Juni 2025, UDNG kembali mencatat pendapatan Rp1,47 miliar dan rugi bersih Rp1,82 miliar. Total aset tercatat Rp58,02 miliar dan ekuitas Rp53,34 miliar, relatif stagnan dibandingkan posisi akhir tahun lalu. Fakta ini menegaskan kontras antara lonjakan harga saham dan realitas kinerja perusahaan.
Di posisi kedua saham paling moncer 2025, terdapat PT Cakra Buana Resources Energi Tbk (CBRE). Penguatan saham CBRE ditopang sentimen korporasi yang lebih terukur setelah perusahaan memperoleh restu pemegang saham untuk melaksanakan rights issue pada 18 Desember 2025. Perseroan berencana menerbitkan hingga 48 miliar saham baru dalam jangka waktu maksimal 12 bulan setelah RUPS.
Dana hasil rights issue tersebut akan digunakan untuk pembelian kapal offshore besar Hai Long 106, memperkuat modal kerja, melunasi sebagian utang, serta mendukung ekspansi armada. Kejelasan rencana penggunaan dana inilah yang menjadi daya tarik utama bagi investor.
Urutan ketiga ditempati PT Indokripto Koin Semesta Tbk (COIN), emiten kripto pertama yang tercatat di BEI. Saham COIN menguat signifikan setelah masuknya investor strategis dari Arsari Grup yang memiliki relasi bisnis bersama Hashim Djojohadikusumo. Masuknya pemegang saham baru ini mendorong rencana RUPSLB untuk mengubah penggunaan dana hasil IPO.
Manajemen COIN mengungkapkan masuknya Arsari sebagai pemegang saham menandai kepercayaan institusi yang kuat terhadap masa depan industri aset digital Indonesia serta mempertegas posisi Indonesia sebagai negara dengan potensi besar dalam pertumbuhan ekonomi berbasis aset digital.
Posisi keempat ditempati saham PT Bukit Uluwatu Villa Tbk (BUVA). Emiten properti di Bali ini mencatatkan penguatan setelah melaksanakan rights issue dan menunjukkan perbaikan kinerja keuangan. Perubahan dari rugi menjadi laba serta fokus restrukturisasi keuangan dan optimalisasi aset meningkatkan kepercayaan pasar terhadap prospek BUVA.
Saham lain yang masuk daftar 10 besar penguatan tertinggi sepanjang 2025 antara lain PT Panca Anugrah Wisesa Tbk (MGLV), PT Pradiksi Gunatama Tbk (PGUN), PT Mora Telematika Indonesia Tbk (MORA), PT Multi Makmur Lemindo Tbk (PIPA), PT Folago Global Nusantara Tbk (IRSX), dan PT Trimitra Prawara Goldland Tbk (ATAP). Sebagian besar mencatatkan lonjakan harga signifikan seiring tren berburu saham small cap, meski belum seluruhnya ditopang fundamental yang solid.
Data perdagangan BEI menunjukkan saham-saham tersebut mencatatkan kenaikan mulai dari 1.564 persen hingga 8.582,93 persen sejak awal tahun hingga penutupan 22 Desember 2025. Fenomena ini menegaskan kuatnya pengaruh sentimen, aksi korporasi, dan spekulasi ritel dalam menggerakkan harga saham, sementara risiko koreksi tetap membayangi bagi investor yang mengabaikan aspek kinerja dan valuasi perusahaan.
(*)

