Iklan

Wednesday, November 19, 2025, 7:30 PM WIB
Last Updated 2025-11-19T12:30:16Z
News

Bill Gates Soroti Indonesia dalam Krisis Iklim, Mulai Dari Lemak Sintetis, Minyak Sawit, hingga Prediksi Bumi 2100

Bill Gates Soroti Indonesia dalam Krisis Iklim, Mulai Dari Lemak Sintetis, Minyak Sawit, hingga Prediksi Bumi 2100
Bill Gates Soroti Indonesia dalam Krisis Iklim, Mulai Dari Lemak Sintetis, Minyak Sawit, hingga Prediksi Bumi 2100


Intisari :

  • Bill Gates menyoroti Indonesia dan Malaysia sebagai penyumbang emisi global akibat deforestasi untuk minyak sawit.
  • Gates memperkenalkan teknologi lemak sintetis bebas emisi melalui Savor dan minyak alternatif dari C16 Bioscience.
  • Gates kini menilai perubahan iklim tak akan memusnahkan umat manusia, namun tetap menekankan perlunya inovasi dan strategi adaptasi global.




LANGGAMPOS.COM - Bill Gates kembali mengangkat isu perubahan iklim global dengan menyebut Indonesia sebagai salah satu titik krisis yang harus segera ditangani. Dalam analisis terbarunya, Gates menilai teknologi rendah karbon, pangan sintetis, hingga inovasi energi bersih menjadi kunci mengurangi emisi global. Namun ia menegaskan, perubahan iklim bukan “kiamat”, melainkan tantangan besar yang menuntut arah kebijakan dan inovasi yang lebih terukur.

Bill Gates selama bertahun-tahun dikenal sebagai salah satu suara paling vokal soal perubahan iklim. Dalam unggahan blog pribadinya tahun lalu, ia memaparkan bahwa aktivitas manusia menghasilkan 51 miliar ton gas rumah kaca setiap tahun. Sekitar 7 persen di antaranya berasal dari produksi lemak hewan dan minyak nabati yang dikonsumsi masyarakat dunia.

Gates menekankan kebutuhan untuk menekan angka tersebut. “Untuk memerangi perubahan iklim, kita harus mengubah angka tersebut ke nol,” kata dia. Namun ia juga mengakui bahwa pelarangan total lemak hewan tidak realistis, mengingat komponen tersebut mengandung nutrisi penting bagi manusia.

Di titik inilah Gates memperkenalkan Savor, startup yang ia danai, yang menciptakan lemak sintetis tanpa emisi dan tanpa melibatkan hewan. Teknologi itu memanfaatkan karbondioksida dari udara dan hidrogen dari air, kemudian memanaskannya hingga terbentuk pemisahan komponen asam yang akhirnya menghasilkan formulasi lemak. Menurut Gates, produk tersebut memiliki molekul serupa dengan lemak dalam susu, keju, daging sapi, hingga minyak nabati.

Selain soal lemak hewan, Gates menyoroti konsumsi minyak sawit global yang terserap dalam makanan sehari-hari seperti kue, mi instan, krimer, hingga produk kosmetik dan sabun. Pohon sawit yang berasal dari Afrika Barat dan Tengah tumbuh optimal di garis khatulistiwa, memicu ekspansi perkebunan sawit yang berujung pada penggundulan hutan.

Pembakaran hutan untuk membuka lahan, menurut Gates, telah menciptakan emisi besar yang memicu peningkatan suhu global. Ia secara langsung menyebut Indonesia dan Malaysia sebagai contoh nyata. “Pada 2018, kehancuran yang terjadi di Malaysia dan Indonesia saja sudah cukup parah hingga menyumbang 1,4% emisi global,” ujarnya. Angka itu lebih besar dari total emisi seluruh negara bagian California dan hampir setara dengan industri penerbangan dunia.

Meski demikian, Gates memahami bahwa minyak sawit sulit digantikan karena murah, tidak berbau, dan tersedia dalam jumlah besar. Ia mencontohkan upaya C16 Bioscience, perusahaan yang ia sorot sejak 2017, yang memproduksi minyak alternatif dari mikroba ragi melalui proses fermentasi tanpa emisi. “Minyak ini sama alaminya dengan minyak sawit, hanya saja tumbuh pada jamur, bukan pada pohon,” tuturnya.

Namun pandangan Gates kini mulai bergeser. Dalam tulisan terbaru di Gates Notes, ia menilai narasi perubahan iklim sebagai ancaman “kiamat” adalah keliru. “Meskipun perubahan iklim akan menimbulkan konsekuensi serius… perubahan iklim tidak akan menyebabkan kepunahan umat manusia,” kata Gates. Ia menambahkan bahwa manusia akan tetap mampu hidup dan berkembang, terutama dengan proyeksi emisi yang kini menurun.

Gates mengkritik fokus jangka pendek komunitas lingkungan yang cenderung hanya memprioritaskan pengurangan emisi, sehingga mengalihkan sumber daya dari solusi yang lebih efektif untuk meningkatkan kualitas hidup di dunia yang semakin panas. Ia menilai konferensi iklim COP30 di Brasil bulan depan dapat menjadi momentum untuk memulai dialog lebih serius tentang adaptasi iklim dan pembangunan manusia.

Bagi Gates, perubahan iklim adalah masalah besar, namun bukan satu-satunya. Ia menyebut malaria, malnutrisi, penyakit, dan kemiskinan sebagai tantangan yang sama mendesaknya. Oleh sebab itu, alokasi sumber daya harus diarahkan pada intervensi yang memberi dampak terbesar.

Gates juga menyoroti proyeksi suhu global tahun 2100 yang diperkirakan naik 2°C hingga 3°C dibandingkan era praindustri. Angka ini jauh dari target 1,5°C yang disepakati dalam COP Paris 2015. Sementara itu, permintaan energi global diperkirakan melonjak dua kali lipat pada 2050, dipicu pertumbuhan ekonomi negara berkembang. “Peningkatan penggunaan energi merupakan bagian penting dari kemakmuran,” ujarnya.

Namun, peningkatan itu sekaligus memperburuk emisi. Solusinya, menurut Gates, adalah inovasi teknologi nol karbon. Ia optimistis dalam sepuluh tahun mendatang, dunia akan memiliki perangkat energi bersih terjangkau dalam skala besar. Gedung akan dibangun dengan baja dan semen rendah karbon, mobil listrik menjadi standar, pertanian lebih ramah lingkungan, dan listrik bersih tersedia lebih andal.

Pada akhirnya, Gates menyimpulkan bahwa perubahan iklim memang ancaman serius, namun bukan akhir dunia. Manusia, katanya, perlu menyeimbangkan inovasi, adaptasi, dan pembangunan untuk memastikan masa depan yang lebih aman dan berkelanjutan.

(*)











SOURCE: CNBC





Tag Keyword SEO:

bill gates,perubahan iklim,krisis iklim indonesia,minyak sawit indonesia,emisi karbon global,teknologi nol karbon,savor,c16 bioscience,kemiskinan global,energi bersih,adaptasi iklim,cop30



Advertisement