Direktur Utama PGN Arief S. Handoko menyatakan defisit tersebut sudah mulai terjadi sejak 2025 dan dipicu oleh penurunan alami produksi gas dari ladang-ladang eksisting, yang belum diimbangi dengan penemuan dan pengembangan ladang baru.
“Sejak 2025 hingga 2035, kekurangan gas terus membesar. Di akhir periode bisa mencapai minus 513 MMSCFD,” ujar Arief , sebagaimana yang dikutip dari CNN Indonesia.
Penurunan pasokan paling signifikan terjadi di Sumatera Utara, Sumatera bagian Selatan, serta wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Di Sumatera Utara sendiri, defisit diprediksi dimulai pada 2028 dan terus berlanjut hingga 2035 dengan kekurangan hingga 96 MMSCFD.
Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menekankan bahwa defisit gas tidak hanya berdampak pada masyarakat, tapi juga pada industri besar seperti sektor pupuk. Ia memperingatkan bahwa kelangkaan gas akan menyebabkan harga melonjak dan bisa memicu inflasi.
“Industri akan kesulitan pasokan. Harga naik, efisiensi turun. Masyarakat juga akan merasakan dampaknya,” ujar Huda.
Huda juga mengingatkan agar pemerintah mengevaluasi kebijakan ekspor Liquefied Natural Gas (LNG). Menurutnya, gas domestik harus lebih diutamakan ketimbang ekspor demi menjaga ketahanan energi nasional.
“Gasifikasi PLN dan kebutuhan industri pupuk harus jadi prioritas. Jangan sampai LNG dalam negeri justru lebih banyak dijual ke luar,” tegasnya.
Jika defisit gas tidak ditangani, Huda memperkirakan target bauran energi nasional pun akan sulit tercapai. Program transisi energi, terutama pada pembangkit listrik berbasis gas, berpotensi gagal karena tidak tersedia pasokan memadai.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Padjajaran, Yayan Satyakti, juga menyebut bahwa solusi impor gas juga tidak mudah. Di tengah ketidakpastian global dan perang dagang, akses impor bisa terganggu meskipun harga migas turun.
“Negara eksportir besar seperti Rusia dan Qatar tak punya kepastian kebijakan ekspor. Ini akan berdampak besar ke APBN jika impor harus ditingkatkan,” jelas Yayan.
Lima Industri Paling Terdampak
Mengacu pada data Tabel Input-Output BPS 2020, berikut lima sektor yang paling rentan terhadap defisit gas:
1. Industri Pupuk – terdampak 10,03%
2. Listrik – 8,27%
3. Industri Kaca – 6,57%
4. Keramik & Porselen – 7,14%
5. Besi dan Baja Dasar – 6,03%
PGN dan para ekonom mendorong pemerintah segera membuat kebijakan yang berpihak pada kebutuhan dalam negeri untuk mencegah krisis energi berkepanjangan.
(*)