LANGGAMPOS.COM - Fenomena sound horeg makin sering muncul di ruang-ruang publik, dari pesta pernikahan hingga arak-arakan kampung. Yang jadi sorotan bukan cuma hiburannya, tapi suara dentuman yang ekstrem dari sound system bertenaga besar. Lagu-lagu remix berputar kencang, kadang disertai pertunjukan visual yang megah. Tapi di balik kemeriahannya, muncul satu pertanyaan: ini ekspresi seni atau gangguan yang dilegalkan?
Banyak warga mengeluhkan dampak langsung dari sound horeg. Selain merusak ketenangan lingkungan, suara kerasnya bahkan bisa merusak bangunan. Tapi alih-alih fokus pada efek sosial dan lingkungan, diskusi resmi justru bergeser ke soal pelindungan kekayaan intelektual.
Direktur Hak Cipta dan Desain Industri, Agung Damarsasongko, mengatakan:
"Kita harus bisa membedakan terlebih dahulu mana yang merupakan suatu kreativitas yang penting untuk dilindungi KI-nya, mana dampak yang merugikan untuk masyarakat."
Pernyataan ini memunculkan dilema: apakah negara terlalu cepat memberi payung hukum atas bentuk hiburan yang secara nyata menimbulkan keresahan publik? Apakah setiap bentuk “kreativitas” otomatis layak dilindungi hanya karena melibatkan teknologi atau remix musik?
Menurut Agung, teknologi pengeras suara bisa dipatenkan, dan desain sound system-nya bisa dilindungi sebagai desain industri. Bahkan musik remix dalam sound horeg disebut layak dilindungi hak cipta, asalkan ada izin dan royalti dibayarkan.
"Musisi yang membuat musik remix ini harus membayar royalti dan atau meminta izin terlebih dahulu kepada para pemilik lagu yang mereka gunakan," jelasnya.
Tapi seberapa sering aturan ini benar-benar ditegakkan dalam praktik? Dan bagaimana dengan hak warga yang terganggu? Ada ketimpangan yang jelas: perlindungan hukum bagi pelaku hiburan berjalan, sementara perlindungan bagi masyarakat yang terkena dampaknya justru minim dibahas.
Agung mengajak pihak-pihak terkait menyusun aturan agar sound horeg punya tempat dan waktu yang tepat. Tapi pertanyaan kritis tetap mengemuka: siapa yang benar-benar dilindungi dalam fenomena ini, para kreator, produsen sound system, atau publik yang terpaksa menerima dampaknya?
(*)