LANGGAMPOS.COM - Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) memperkenalkan program School to Work Transition sebagai salah satu strategi untuk menekan angka pengangguran, khususnya di kalangan usia muda.
Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, menyampaikan bahwa kelompok usia 19–24 tahun merupakan segmen dengan tingkat pengangguran tertinggi, terutama dari lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Senin (5/5), Yassierli menjelaskan bahwa program ini dirancang sebagai solusi atas ketidaksesuaian antara kurikulum pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja (mismatch).
Ia menyebut bahwa terdapat kesenjangan signifikan antara jurusan yang ada di institusi pendidikan dan kompetensi yang dibutuhkan industri.
Dua Skema Pelaksanaan: Penempatan dan Wirausaha
Program ini terdiri dari dua skema utama, yakni skema penempatan dan skema wirausaha. Keduanya memiliki tahapan yang serupa pada fase awal:
- Asesmen Awal: Meliputi asesmen psikologi dan teori secara daring selama satu minggu.
- Pelatihan di BLK: Peserta mengikuti pelatihan teknis selama dua minggu di Balai Latihan Kerja (BLK).
- Project-Based Learning: Peserta diterjunkan ke industri untuk menjalani pembelajaran berbasis proyek selama tiga bulan.
- Sertifikasi: Setelah menyelesaikan seluruh tahapan, peserta akan memperoleh sertifikat kompetensi.
Perbedaan antara kedua skema tersebut terletak pada muatan akhir. Dalam skema wirausaha, peserta akan mendapatkan tambahan materi dan pelatihan kewirausahaan untuk membekali mereka menjadi pengusaha mandiri.
Bagi lulusan muda, terutama yang merasa kesulitan mendapatkan pekerjaan pertama atau bingung memilih jalur karier, program ini dapat menjadi jembatan penting untuk menambah pengalaman kerja nyata dan mengembangkan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan industri.
Himbauan DPR: Jangan Sampai Eksploitasi Pemagang
Meskipun program ini disambut baik oleh banyak pihak, DPR RI memberikan catatan penting. Anggota Komisi IX dari Fraksi Gerindra, Obon Tabroni, mengingatkan bahwa program ini berpotensi disalahgunakan oleh perusahaan dengan menjadikan peserta magang sebagai tenaga kerja murah.
Ia menegaskan pentingnya regulasi yang tegas untuk mencegah praktik eksploitasi, seperti pembatasan jam kerja dan penghapusan target kinerja layaknya pekerja tetap.
“Jika perusahaan menjadikan peserta magang sebagai pekerja dengan jam kerja penuh, gaji rendah, dan beban kerja seperti karyawan, ini jelas bentuk penyalahgunaan,” ujar Obon.
Menteri Yassierli menyetujui kekhawatiran tersebut dan menegaskan bahwa program ini tidak dimaksudkan untuk menciptakan tenaga kerja murah. Ia menekankan bahwa pemagangan dilakukan dalam konteks pembelajaran, bukan untuk menggantikan pekerja tetap.
“Peserta datang untuk belajar dan menerapkan ilmu yang telah diperoleh di BLK melalui studi kasus di perusahaan. Setelah itu, harapannya mereka dapat direkrut sebagai karyawan tetap,” jelasnya.
Tren PHK dan Rekrutmen: Realita Pasar Kerja
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Yassierli juga mengakui adanya peningkatan jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia. Data menunjukkan bahwa sebanyak 64.855 orang mengalami PHK pada 2023, dan angka ini naik menjadi 77.965 orang pada 2024.
Namun, menurut Obon, hal tersebut harus dilihat secara seimbang. Ia menyebut bahwa di sisi lain terdapat lebih dari 1 juta orang yang direkrut oleh berbagai perusahaan dalam periode yang sama. Sebagai contoh, pabrik otomotif BYD di Subang dilaporkan akan merekrut hingga 18 ribu karyawan baru.
“Memang banyak PHK, tapi bukan berarti pasar kerja Indonesia sepenuhnya suram. Masih banyak perusahaan yang membuka lapangan kerja,” tegasnya.
Program School to Work Transition ini diharapkan bisa menjadi salah satu jalur praktis untuk mengembangkan kompetensi, memahami ritme kerja industri, dan sekaligus menambah portofolio pengalaman.
Namun, penting untuk tetap kritis dan memahami hak sebagai peserta pelatihan agar tidak terjebak dalam bentuk eksploitasi terselubung.
(*)