Iklan

Sunday, May 4, 2025, May 04, 2025 WIB
Last Updated 2025-05-04T06:17:32Z
hadits pengawinan kurmaIslamirasionalitas dalam islam

Memisahkan Wahyu dan Keahlian Dunia: Refleksi Kisah Nabi Dalam Praktik Pertanian Kurma

Kisah-nabi-dalam-praktik-pertanian



LANGGAMPOS.COM - Tidak semua perkataan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersumber dari wahyu. Ada kalanya beliau berbicara sebagai manusia biasa, seperti dalam kisah tentang pengawinan kurma, yang menjadi pelajaran penting tentang batas antara urusan agama dan urusan dunia.

Kisah ini terabadikan dalam hadits dimana Anas tentang mengawinkan kurma. Suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati sahabatnya yang sedang mengawinkan kurma. Lalu beliau bertanya, “Apa ini?” Para sahabat menjawab, “Dengan begini, kurma jadi baik, wahai Rasulullah!” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda,

“Seandainya kalian tidak melakukan seperti itu pun, niscaya kurma itu tetaplah bagus.” Setelah beliau berkata seperti itu, mereka lalu tidak mengawinkan kurma lagi, namun kurmanya justru menjadi jelek. Ketika melihat hasilnya seperti itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,

“Kenapa kurma itu bisa jadi jelek seperti ini?” Kata mereka, “Wahai Rasulullah, Engkau telah berkata kepada kita begini dan begitu…” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.” (HR. Muslim no.2263)

Melalui kisah diatas, kita belajar Memisahkan antara Urusan Agama dan Duniawi. Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa otoritas beliau dalam urusan agama (wahyu) tidak meliputi semua aspek kehidupan duniawi. Umat Islam perlu membedakan antara petunjuk agama yang mutlak dan pengetahuan praktis yang berkembang berdasarkan pengalaman dan keahlian.

Kisah ini juga menekankan pentingnya mengakui dan merujuk pada ahli di bidangnya. Meski Nabi dihormati sebagai pemimpin agama, beliau mengakui bahwa petani lebih memahami praktik pertanian.

Hasil kurma yang buruk setelah mengabaikan proses penyerbukan menunjukkan pentingnya menguji pendapat melalui eksperimen dan pengamatan.dalam hadits ini, Islam mendorong penggunaan akal dan metode ilmiah dalam menyelesaikan masalah duniawi.

Pelajaran lain yang juga didapat dari hadits ini yaitu Nabi Muhammad SAW memberikan teladan tentang kerendahan hati dengan mengakui bahwa pendapat pribadinya (bukan wahyu) dalam urusan dunia bisa keliru. Pemimpin seharusnya terbuka untuk dikoreksi dan belajar dari hasil nyata.

Para sahabat tidak ragu melaporkan hasil buruk tersebut kepada Nabi, menunjukkan pentingnya transparansi dan dialog antara masyarakat dengan pemimpin. Ini mendorong budaya memberikan masukan demi kebaikan bersama.

Selain itu, Kisah ini juga mengklarifikasi bahwa Nabi hanya terjaga dari kesalahan dalam menyampaikan wahyu, bukan dalam urusan duniawi yang berbasis ijtihad pribadi. Umat tidak boleh menganggap setiap perkataan beliau sebagai dogma mutlak di luar konteks agama.

Sebagai penutup, sabda Nabi “Antum a’lamu bi-umûri dunyâkum” (Kalian lebih tahu urusan dunia kalian) adalah seruan untuk membangun peradaban yang mengintegrasikan iman dengan inovasi. 

Di era saat ini, prinsip ini mengingatkan kita, kemajuan hanya tercapai ketika agama menjadi kompas moral, sementara ilmu pengetahuan menjadi alat untuk mengeksplorasi ciptaan Allah. Dengan demikian, kisah sederhana ini tetap relevan sebagai pedoman dalam merajut harmoni antara kesalehan individu dan kemaslahatan kolektif.

(*)

Advertisement
close