langgampos.com - Pemerintah Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump telah menetapkan tarif perdagangan sebesar 32% terhadap Indonesia.
Kebijakan tersebut diumumkan langsung oleh Trump sebagai bagian dari penerapan tarif timbal balik (reciprocal tariff) kepada sekitar 60 negara mitra dagang AS yang dianggap mengenakan bea masuk tinggi terhadap produk-produk AS.
Pemerintah Indonesia awalnya berencana menggelar konferensi pers terkait kebijakan tarif baru ini.
Acara yang dijadwalkan berlangsung secara daring pada pukul 10.45 WIB itu rencananya akan dihadiri oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Perdagangan Budi Santoso, Menteri Luar Negeri Sugiono, serta Wakil Menteri Industri Faisol Reza.
Namun, tak lama setelah pengumuman tersebut, pemerintah membatalkan konferensi pers dengan alasan bahwa kebijakan tarif AS bersifat sangat teknis dan menyangkut banyak komoditas. Oleh karena itu, masih diperlukan pembahasan mendalam antar kementerian dan lembaga terkait sebelum memberikan pernyataan resmi.
"Hingga ada pemberitahuan lebih lanjut, konferensi pers ini ditunda. Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan yang ditimbulkan," tulis keterangan resmi dari Humas Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Tak hanya Indonesia, kebijakan tarif AS juga berdampak pada negara mitra dagang lainnya, termasuk Korea Selatan yang dikenai tarif sebesar 25%. Menurut Wendy Cutler, Wakil Presiden Asia Society Policy Institute sekaligus mantan pejabat Perwakilan Dagang AS, negara-negara di kawasan Asia menjadi pihak yang paling terdampak oleh kebijakan ini.
"Mitra dagang AS tidak akan melihat tarif ini sebagai sesuatu yang adil. Banyak negara mungkin akan merespons dengan kebijakan serupa," ujar Cutler.
Trump menegaskan bahwa kebijakan tarif timbal balik ini bertujuan untuk mempersempit ketimpangan yang dianggapnya tidak adil dalam sistem perdagangan global. Ia bahkan menyebut bahwa kebijakan ini adalah langkah untuk "menghidupkan kembali industri Amerika."
"Negara-negara asing akhirnya harus membayar akses ke pasar kita, yang merupakan pasar terbesar di dunia," ujar Trump.
Tarif perdagangan baru ini dijadwalkan mulai berlaku pada 5 April tengah malam, sedangkan tarif timbal balik akan diterapkan pada 9 April.
Para analis memperingatkan bahwa kebijakan ini berpotensi memicu perang dagang global yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi internasional.
Kebijakan tarif ini juga dibandingkan dengan Undang-Undang Tarif Smoot-Hawley tahun 1930, yang menaikkan tarif impor sebesar 20% dan memperparah Depresi Besar.
Jika negara-negara mitra dagang AS merespons dengan tindakan serupa, dunia bisa menghadapi ketegangan perdagangan yang lebih besar di masa mendatang.
"Hingga ada pemberitahuan lebih lanjut, konferensi pers ini ditunda. Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan yang ditimbulkan," tulis keterangan resmi dari Humas Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Tak hanya Indonesia, kebijakan tarif AS juga berdampak pada negara mitra dagang lainnya, termasuk Korea Selatan yang dikenai tarif sebesar 25%. Menurut Wendy Cutler, Wakil Presiden Asia Society Policy Institute sekaligus mantan pejabat Perwakilan Dagang AS, negara-negara di kawasan Asia menjadi pihak yang paling terdampak oleh kebijakan ini.
"Mitra dagang AS tidak akan melihat tarif ini sebagai sesuatu yang adil. Banyak negara mungkin akan merespons dengan kebijakan serupa," ujar Cutler.
Trump menegaskan bahwa kebijakan tarif timbal balik ini bertujuan untuk mempersempit ketimpangan yang dianggapnya tidak adil dalam sistem perdagangan global. Ia bahkan menyebut bahwa kebijakan ini adalah langkah untuk "menghidupkan kembali industri Amerika."
"Negara-negara asing akhirnya harus membayar akses ke pasar kita, yang merupakan pasar terbesar di dunia," ujar Trump.
Tarif perdagangan baru ini dijadwalkan mulai berlaku pada 5 April tengah malam, sedangkan tarif timbal balik akan diterapkan pada 9 April.
Para analis memperingatkan bahwa kebijakan ini berpotensi memicu perang dagang global yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi internasional.
Kebijakan tarif ini juga dibandingkan dengan Undang-Undang Tarif Smoot-Hawley tahun 1930, yang menaikkan tarif impor sebesar 20% dan memperparah Depresi Besar.
Jika negara-negara mitra dagang AS merespons dengan tindakan serupa, dunia bisa menghadapi ketegangan perdagangan yang lebih besar di masa mendatang.
(*)